Bukan sekadar tipuan mata, aksi pertunjukan sulap sudah jauh berkembang begitu rupa, bahkan melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buang jauh-jauh pikiran Anda bahwa semua ini adalah gaib, ilmu hitam, atau sebangsanya. Sulap hanyalah semata-mata hiburan yang menggunakan trik (atau sebaliknya?)
Bisa jadi, Houdini—pesulap Amerika kelahiran Hongaria itu—sedang tidak bersikap serius saat mengucapkan kata-kata tadi. Atau, mungkin juga, pernyataan itu sesungguhnya adalah bagian dari aksi-aksi sulapnya yang selalu mengundang sensasi. Ya, siapa yang tahu.
Namun memang tidak bisa dipungkiri, aksi-aksi pertunjukan sulap dengan mata kepala sendiri seringkali berhasil menggelitik nalar. Tak terkecuali bagi mereka yang menyebut diri sebagai manusia rasional.
Bagaimana hendak menjelaskan, misalnya, aksi ilusionis David Copperfield saat menembus Tembok Besar Cina? Atau David Blaine yang bertahan hidup 44 hari di kotak kaca yang digantung di pusat Kota London. Dari negeri sendiri, Deddy Corbuzier sukses menebak judul berita halaman satu harian Kompas, jauh sebelum penerbitannya. Semua itu seperti tidak masuk akal, tapi kok nyata?
Kita bisa saja mencibir terhadap aksi para pesulap itu dengan berkata, “Ah, itu kan cuma tipuan mata saja. Semua ada triknya. Kita sebagai penonton cuma dibohongi.”
Benar. Dalam setiap aksi pertunjukan sulap, ada sejumput rahasia yang disembunyikan dari penonton. Tapi seiring perkembangan seni sulap, tidak seluruh ‘rahasia’ selalu berupa trik, dalam arti tipuan. Sulap yang awalnya banyak berupa silap mata, kini telah berkembang menjadi seni pertunjukan yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sulap telah menjadi seni pertunjukan modern.
Derajat Lebih Terangkat
“Dalam sulap memang ada tipuan, tapi bukan terus artinya pesulap itu penipu. Penipu merugikan orang lain. Kalau pesulap, menghibur orang lain,” jelas Demian Aditya, pesulap muda, 27 tahun, menepis tudingan minor terhadap profesi yang digelutinya.
“Analoginya sederhana, seperti kita menonton film Harry Potter. Di sana Harry bisa terbang. Kita semua tahu manusia tidak bisa terbang. Tapi penonton tidak terus merasa tertipu kan?”
Berhasil mencatatkan diri dalam jajaran pesulap profesional Indonesia yang masih sangat terbatas, Aditya Prambudi—begitu nama aslinya—berkeinginan meluruskan persepsi keliru masyarakat seputar seni pertunjukan sulap. Ia kepingin, derajat seni sulap terangkat di industri hiburan negeri ini. Paling tidak seperti musik atau malah lawak.
Nama Demian sendiri mulai dilirik orang setelah tampil pada acara sulap televisi Demian Sang Ilusionis di ANTV. Penampilannya yang khas: pakaian serba hitam dan potongan rambut mohawk ala anak muda zaman sekarang, membuatnya semakin gampang dikenali orang. “Sebenarnya saya kepingin dikenal sebagai orang biasa saja yang humble, ramah,” pesulap beraliran ilusi ini berterus terang.
Jenjang yang sekarang ditapakinya, memang bukan hasil simsalabim abrakadabra dalam semalam. Mengaku mulai menyukai sulap sejak SD, tapi Demian baru serius mempelajarinya saat berkuliah, hingga kemudian berguru kepada pesulap mentalis Deddy Corbuzier. Empat tahun lalu, ia mulai profesional, setelah sempat bergabung dalam sekelompok pesulap muda Pentagram di bawah manajemen gurunya itu. Saat ini jadwal manggungnya delapan kali sebulan.
Untuk ukuran Indonesia, karir Demian boleh dikata cukup baik. Seperti kata Deddy Corbuzier, citra sulap sempat ambruk. Levelnya cuma setingkat pertunjukan selingan pada acara ulang tahun anak-anak. “Sampai ada istilah tukang sulap. Tukang! Seperti tukang bakso saja, he-he-he,” Deddy berkata geli. Saat ini, dunia pertunjukan sulap kita pun tertinggal 50 tahun dibanding di Amerika.
Jika Anda ingat, pada dekade 1980-an sempat dikenal pesulap-pesulap klasik seperti Mister Robin, Arbain, Pak Tepong, atau Jack dan Linda, yang sering tampil di TVRI. Masyarakat baru menyadari keberadaan jenis sulap lain setelah sulap ilusi David Copperfield ditayangkan di stasiun televisi RCTI. Pengaruh ilusionis bermata tajam itu ternyata besar. Sampai sekarang, banyak ilusionis muda di seantero dunia menjadikan Copperfield idola. Termasuk Demian.
Trik Berusia Seabad
Perjalanan seni sulap adalah sebuah kisah panjang, terhitung sejak sejarah mencatatnya di lembar-lembar papirus bertahun 1700 SM, di Mesir. Hingga kemudian Jean-Eugene Robert (1805-1871), pesulap Prancis, menjadi pelopor seni sulap modern. Robert mendirikan Theatre of Magic, gedung pertunjukan yang mempertontonkan trik-trik sulap kreasinya. Sulap-sulap klasik seperti menghilangkan koin, memunculkan kelinci dari topi, atau memotong orang di dalam kotak, muncul pada kurun waktu ini.
Perkembangan sulap menjadi pertunjukan ilusi, dipelopori Buatier De Kolta (1847-1903) dan Servais Le Roy (1865-1953). Kolta menciptakan De Kolta Chair, kursi yang diduduki seorang wanita lalu ditutupi kain. Ketika kain dibuka, wanita itu sudah menghilang. Penonton bertepuk tangan.
Le Roy juga membuat ilusi serupa. Tapi hebatnya, kursi ciptaan Le Roy bisa melayang. Dan ketika kain ditarik, asisten yang duduk di kursi itu seolah menghilang di udara. Bayangkan, trik-trik ilusi yang umurnya lebih dari seabad itu masih dipakai sampai sekarang!
Kolta atau Le Roy, mungkin tidak pernah mengira jika kelak sulap ilusi memberi napas tersendiri pada aksi-aksi sulap yang dipertontonkan di panggung hiburan, dan belakangan di televisi. Daya pikat ilusi seolah abadi, karena penonton terbawa pada imajinasinya. Sesuatu yang sesungguhnya cuma tipuan mata, kelihatan seperti nyata.
Ilusi begitu mencengangkan, sampai terkadang muncul sedikit masalah. Untuk fakta ini silakan Anda tertawa: ada kelompok orang tertentu yang sempat berniat ‘menggagalkan’ pertunjukan sulap David Copperfield di Jakarta tahun lalu. Copperfield dianggap memakai ilmu gaib dalam aksi-aksi sulapnya, sehingga harus dihentikan!
“Saya sendiri tidak pernah menyatakan kalau sulap saya benar terjadi seperti kelihatannya. Semua itu ada rahasianya dan bisa dijelaskan,” begitu cara Demian menepis anggapan adanya kekuatan gaib dalam ilusi yang dimainkannya. Masalah pakaiannya yang serba hitam, namanya yang terinspirasikan bocah iblis Damien Omen dalam film The Omen, serta lambang mirip angka 666 yang dipakainya, juga tidak berhubungan dengan alam gaib. “Ini cuma karakter.”
Namun rasanya wajar jika orang yang tidak cermat akan salah persepsi. Sulap ilusi bermain pada empat hal yang selalu sukses membuat penonton penasaran, yaitu ‘menghilangkan’, ‘memunculkan’, atau ‘menembus’ sebuah benda, serta aksi ‘terbang’. Variasi permainan bisa memakai benda-benda berbagai ukuran, seperti koin, kartu, sepeda motor, mobil, atau bahkan tugu Monas sekalipun.
Sebesar atau sehebat apa pun sebuah sulap ilusi, sekali lagi, semuanya semata-mata mengandalkan metode atau peralatan tertentu yang sudah disiapkan pesulap. Dari balik panggung, sejumlah perangkat dioperasikan pesulap beserta timnya. Malah tidak tertutup kemungkinan, ada orang-orang yang disusupkan di antara penonton untuk membantu pesulap. Semua cara sah-sah saja, demi untuk hiburan.
Jika semua hal teknis sudah oke, kini perhatian penonton tertuju kepada pesulap di panggung. Sebagai front man, pesulap harus mempunyai keterampilan gerak tubuh yang dipadu dengan kelihaiannya membawa suasana lewat kata-kata. Demian misalnya sempat berlatih khusus kepada Septian Dwi Cahyo, pelatih olah tubuh yang juga aktor.
Agar lebih sakti, pesulap juga bisa memperkaya ilmunya dengan okultisme, suatu ilmu untuk memahami yang tersembunyi dalam diri dan lingkungan di sekitarnya. Aplikasinya bisa berbentuk hipnosis untuk mempengaruhi orang, telepati untuk berhubungan dengan orang lain melalui pikiran, atau daya magnetis untuk menarik perhatian orang.
Idenya dari Film Kartun
Makin bervariasi dan majunya aksi pertunjukan sulap akhir-akhir ini, sebenarnya menandakan lahirnya metode-metode baru sulap serta peralatan penunjang yang terus berkembang. Kalau tidak mau ketinggalan, para pesulap pun harus selalu mengikutinya. Artinya, mereka harus selalu berinvestasi pada peralatan atau permainan baru.
Setiap hari ada dua alat permainan sulap baru tercipta. Seminggu sekali, satu alat sulap ilusi baru ditawarkan. Para pesulap dari seluruh dunia mendapat informasi semacam ini, melalui wadah para pesulap dunia seperti International Brotherhood of Magician. Mereka saling berkomunikasi dan berdiskusi lewat internet.
Di balik gemerlap panggung sulap, pembuatan alat-alat pembawa keajaiban ini menjadi bisnis besar. Demian buka kartu, sebuah alat ilusi skala besar, seperti menghilangkan atau memunculkan benda-benda ukuran besar, harganya mulai Rp 50 jutaan. Semakin canggih alatnya, harganya terus merangkak naik. Dan ingat, semuanya masih harus diimpor.
Mahal? Ada alternatifnya, yakni cukup membeli cetak biru peralatannya saja. Pesulap bisa membuatnya sendiri memakai bahan-bahan lokal. “Habisnya bisa cuma sepuluh jutaan,” ungkap Demian yang memiliki 20 alat ilusi besar di samping ratusan permainan kecil. Investasinya sudah tidak terhitung. “Pastinya ratusan juta.”
Dengan membuat peralatan sendiri, selain murah, pesulap juga dapat memodifikasi permainan sesuai keinginannya. Hal ini sangat mungkin karena prinsip kerja sebuah peralatan sulap sebenarnya cukup sederhana, gampang dipelajari, dan mudah juga dicontek tentunya. Misalnya ada alat ilusi yang sebenarnya cuma… Uups! maaf, karena menyangkut hajat hidup para pesulap, kalimatnya terpaksa tidak diteruskan. Biarlah tetap menjadi rahasia di kalangan mereka saja.
Pesulap yang kreatif kadang menciptakan sendiri permainannya. Modalnya, menurut Demian, cuma imajinasi untuk menyuguhkan tontonan baru dan menjadikannya tantangan untuk mewujudkannya. Ia sendiri sudah memodifikasi beberapa alat ilusi. Salah satunya “Pintu ke mana saja”, alat berbentuk daun pintu, kalau dibuka bisa muncul orang sampai dua kali. Idenya dari film kartun Doraemon.
Sambutan penonton juga tidak selalu bisa diduga. Demian yang sering menyuguhkan sulap memakai peralatan elektronik, awalnya malah sempat tidak suka pada salah satu sulap kreasinya yang menggunakan televisi plasma. Aksinya cukup sederhana, ia memegang bola kecil yang dilempar ‘masuk’ ke layar televisi, bola berputar-putar di layar, dikeluarkan lagi kembali ke tangan.
“Di sulap itu saya merasa, kok cuma banyak menari-nari saja terus memainkan bola di tangan. Tapi ternyata banyak penonton suka,” jelas ilusionis ‘high-tech magic’, sebuah julukan yang disandangnya lantaran sering memakai gadget seperti ponsel, PDA, atau komputer dalam aksinya.
Ketergantungannya pada peralatan dan tim, membuat Demian merasa tidak pantas jika terlalu menonjolkan diri. Ia sadar, sulap ilusi tidak bakal sukses tanpa bantuan timnya yang berjumlah 6 orang. Mereka adalah manajer, stage director, music director, penanggung jawab ilusi, dan dua orang urusan teknik. Tim ini tahu semua rahasia sulap Demian, tapi sudah terikat perjanjian untuk tidak membocorkannya.
Bersama timnya, Demian merancang sebuah aksi sulap dengan skenario tertentu. Setiap gerakan diperhitungkan cermat—bahkan dalam hitungan detik—dibantu penataan panggung, alunan musik, koreografi, atau cahaya lampu. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun karena akibatnya sulap bisa gagal. Atau yang lebih gawat, rahasia permainan terbongkar di mata penonton. Reputasi pesulap bisa hancur, minimal harus menanggung malu.
Karena resiko itu, sebelum naik panggung, persiapan harus benar-benar matang. Terutama mengecek kekuatan panggung, karena peralatan ilusi dan tetek bengeknya, beratnya bisa puluhan atau malah ratusan kilogram. Jangan sampai di tengah pertunjukan, misalnya panggung roboh.
Kalau suasana di sekitar panggung sepi, tim Demian akan selalu menyempatkan diri berlatih. “Paling tidak saya latihan dua jam, biar tenang,” ujar Demian yang mengaku bersyukur sejauh ini semua pertunjukannya berjalan baik. Kalau kebetulan panggung ada di tempat ramai, seperti mal, apa boleh buat, latihan pukul 4 pagi juga harus dilakoninya.
Format sebuah pertunjukan sulap ilusi umumnya sama. Selain beberapa permainan ilusi besar, sesuai negosiasi antara pesulap dengan pihak pengundang, umumnya dimainkan juga sulap-sulap versi lain sebagai variasi, seperti sulap jarak dekat atau permainan kecil (close-up magic) untuk berinteraksi dengan penonton.
Sulap permainan jarak dekat dilakukan di depan beberapa orang yang berkumpul, memainkan benda-benda seperti saputangan, koin, atau kartu. Permainan yang berakar pada sulap klasik ini punya banyak variasi dan teknik memainkannya. Tahukah Anda, ada lebih dari 50 teknik menghilangkan koin di telapak tangan? Hebatnya, walau sering dimainkan di mana saja, penonton tetap terkagum-kagum.
Sebagai selingan, disuguhkan juga permainan yang berinteraksi dengan penonton, agar mereka merasa terlibat dalam pertunjukan. Sebenarnya permainan semacam ini sangat lazim. Bahan-bahannya mudah didapatkan di buku-buku sulap atau malah internet sekalipun, karena hanya berupa permainan ilmu pasti atau matematika.
Dengan aneka variasi permainan, Demian berharap penonton tidak melulu terpaku pada trik-trik sulap dan rahasia di baliknya. “Saya ingin mengajak penonton untuk menyaksikan hal-hal yang tidak kita lihat sehari-hari. Lupakan semua persoalan. Di sini kita akan terhibur,” ajaknya.
Menembus Tanpa Membuka Kunci
Berbeda dengan sulap lainnya, dalam aliran mentalis, pesulap umumnya justru akan selalu bermain dengan penonton. Interaksi itulah yang menjadi sulapan sekaligus tontonannya. “Buat saya, di sini letak menariknya. Sulap mentalis memang tidak bagus secara visual, tapi bagus sebagai interaksi,” jelas Deddy Corbuzier, soal ketertarikannya pada aliran yang jarang ditekuni para pesulap ini. Di seluruh dunia, menurut Deddy, saat ini cuma ada puluhan mentalis.
Seperti pesulap lain, pria 31 tahun bernama asli Deddy Cahyadi Sundjojo ini awalnya juga bermain sulap klasik dan ilusi. Karena sejak kecil bercita-cita menjadi pesulap, ia malah sempat belajar pada sejumlah pesulap yang populer di TVRI era dekade 1980-an. Kecintaannya pada mentalis baru muncul ketika Deddy melihat pertunjukan kelompok pesulap mentalis Legendary Thirteen di Israel. Semasa SMA, ia ikut ayahnya yang bekerja di sana.
Bagi Deddy, mentalis adalah the most believable art of magic. Seni sulap yang riil, karena 90 persennya psikologi dan bukan cuma mengandalkan trik. Beda dengan ilusi, yang menurutnya, kalau dimainkan terus, lama kelamaan bisa membuat orang menyadari triknya (walau tetap merasa terhibur). “Sulap mentalis lebih bisa dipercaya karena kemampuan ini ada di dalam setiap orang dan bisa dipelajari. Terlepas orang mau melakukannya atau tidak.”
Sulap mentalis juga mempunyai lebih banyak variasi permainan dibanding sulap lain. Penggolongan besarnya adalah membaca pikiran, prediksi, telepati, fisika kuantum, psikokinetik, dan clairfoyance (mengarah ke hipnosis). Setiap golongan punya puluhan bahkan ratusan variasi permainan. Karena begitu banyak, akibatnya orang sering salah membedakan dengan ilusi.
Ambil contoh sebuah aksi sulap seseorang terkunci di dalam kotak lalu ditutupi kain, dan harus membebaskan diri. Dalam penjelasan Deddy, seorang escapologist (ahli membebaskan diri, seperti Houdini) butuh sebuah lubang agar tangan bisa keluar untuk membuka kunci. Ilusionis akan menghilangkan diri untuk kemudian muncul di luar kotak. Sedangkan mentalis akan menembus kotak tanpa perlu membuka kuncinya!
Oke deh, penjelasan itu boleh dipercaya, boleh juga tidak. Yang jelas, permainan semacam itu memang didasari pada teori fisika kuantum. Sebuah benda solid menembus suatu batas yang solid pula. Masalahnya, apakah benar terjadi seperti itu, Deddy mengembalikannya kepada keyakinan penonton.
Pada awal pemunculannya, nama Deddy sendiri dikenal banyak orang lewat permainan psikokinetik. Menggerakkan benda dari jauh, mematikan jam tangan, atau membengkokkan benda adalah aksi yang membuat orang berdecak kagum padanya. Apa rahasianya? “Ah, semua orang juga bisa. Mungkin mereka tidak dalam kondisi harus melakukannya,” tutur sarjana psikologi lulusan Universitas Atma Jaya Jakarta ini.
Azka, anak lelaki Deddy berumur setahun, sudah bisa membengkokkan sebuah kunci berdasar teori psikokinetik tadi. Prestasi itu masuk catatan Museum Rekor Indonesia tahun 2007. Lucunya, kepada media Deddy selalu menyatakan tidak mau kalau putra sulungnya itu kelak menjadi pesulap.
Karena hanya bermain-main kekuatan pikiran, seorang mentalis kebanyakan akan tampil tunggal di panggung. Artinya, Deddy juga tidak perlu kerepotan membawa peralatan apa pun saat mentas. Cukup berpenampilan oke, serta fisik yang sehat untuk naik pentas. Sesekali ia mengajak Kalina, istrinya, membantu permainan.
Deddy berterus terang menggali beraneka permainan dari buku-buku sulap mentalis yang semuanya impor. Di rumahnya ada ribuan judul buku yang kebanyakan tentang sulap atau psikologi. Ia juga sempat meluncurkan dua buku sulap mentalis yakni Free Will dan Nocturnal Book Test. Pasarnya luar negeri.
Tapi meski cuma tinggal membaca, menurut Deddy, bukan berarti sembarang pesulap bisa memainkan. Yang berat justru latihan-latihan pribadi yang terfokus pada peningkatan kemampuan di dalam diri sendiri. Dua jam sehari, ia melakukan meditasi dan yoga. Ada juga latihan intuisi, menebak sesuatu, memakai benda-benda tertentu seperti kartu.
Rohaniawan Belajar Sulap
Pemunculan pesulap-pesulap muda, seperti Deddy atau Demian, yang permainan dan penampilannya terlihat lebih segar di mata penonton, ternyata berhasil menggairahkan kembali dunia sulap Indonesia. Deddy mengakui, apresiasi orang Indonesia kepada sulap kini sudah jauh membaik. Sedang Demian berkisah, saat pertunjukan di Pontianak, seorang pedagang alat sulap bercerita penjualan toko alat sulapnya meningkat setelah Demian muncul di televisi.
Minat untuk mempelajari sulap juga kian meluas. Deddy menegaskan, belajar sulap bukan berarti harus menjadi seorang entertainer sulap. Di sekolah sulap yang dikelolanya, ada pejabat, jenderal, rohaniawan, sampai sales asuransi yang menjadi muridnya. “Sulap efektif untuk ice breaking, memecah kebekuan dalam pergaulan. Apalagi kalau bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal.”
Sedangkan bagi pesulap sejati, menyelami dunia penuh rahasia ini rasanya tidak akan pernah mencapai batas akhir. Apalagi jika sulap telah menjadi napas dari hidup keseharian mereka. Bermain sulap bukan melulu harus tampil di panggung.
Karena itu di kalangan pesulap juga dikenal semacam tingkatan eksistensi. Ada twister, pemula yang biasanya selalu ingin menunjukkan kebisaannya, sorcerer yang bermain saat diperlukan saja, oracle yang banyak melakukan pencarian makna dari ilmu sulap, serta sage yang sudah sampai pada tahap pencapaian tertentu dan tidak mempertunjukkan kemampuannya lagi.
“Seorang sage biasanya sudah berumur, lebih bijaksana. Tapi, bisa tiba-tiba bermain sulap mengeluarkan bunga untuk seorang anak kecil,” tutur Deddy yang mengagumi ‘sage’ dari Indonesia, Gatot Sunyoto, seorang entertainer serta ventriloquist atau ahli bicara perut tanpa menggerakkan mulut, yang juga bagian dari seni sulap.
Jika sepintas Anda merasa istilah-istilah tadi berbau-bau dunia sihir, percayalah, semua itu semata-mata karena keterbatasan diksi dalam bahasa Inggris. Seperti adanya beragam arti pada kata ‘magic’. Bahasa Indonesia lebih beruntung berhasil memisahkan antara ‘sulap’ dan ‘sihir’. Sekali lagi, ini cuma sulap, bukan sihir.
[T. Tjahjo Widyasmoro & Elisabeth Kartikasari, Majalah Intisari]
Bisa jadi, Houdini—pesulap Amerika kelahiran Hongaria itu—sedang tidak bersikap serius saat mengucapkan kata-kata tadi. Atau, mungkin juga, pernyataan itu sesungguhnya adalah bagian dari aksi-aksi sulapnya yang selalu mengundang sensasi. Ya, siapa yang tahu.
Namun memang tidak bisa dipungkiri, aksi-aksi pertunjukan sulap dengan mata kepala sendiri seringkali berhasil menggelitik nalar. Tak terkecuali bagi mereka yang menyebut diri sebagai manusia rasional.
Bagaimana hendak menjelaskan, misalnya, aksi ilusionis David Copperfield saat menembus Tembok Besar Cina? Atau David Blaine yang bertahan hidup 44 hari di kotak kaca yang digantung di pusat Kota London. Dari negeri sendiri, Deddy Corbuzier sukses menebak judul berita halaman satu harian Kompas, jauh sebelum penerbitannya. Semua itu seperti tidak masuk akal, tapi kok nyata?
Kita bisa saja mencibir terhadap aksi para pesulap itu dengan berkata, “Ah, itu kan cuma tipuan mata saja. Semua ada triknya. Kita sebagai penonton cuma dibohongi.”
Benar. Dalam setiap aksi pertunjukan sulap, ada sejumput rahasia yang disembunyikan dari penonton. Tapi seiring perkembangan seni sulap, tidak seluruh ‘rahasia’ selalu berupa trik, dalam arti tipuan. Sulap yang awalnya banyak berupa silap mata, kini telah berkembang menjadi seni pertunjukan yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sulap telah menjadi seni pertunjukan modern.
Derajat Lebih Terangkat
“Dalam sulap memang ada tipuan, tapi bukan terus artinya pesulap itu penipu. Penipu merugikan orang lain. Kalau pesulap, menghibur orang lain,” jelas Demian Aditya, pesulap muda, 27 tahun, menepis tudingan minor terhadap profesi yang digelutinya.
“Analoginya sederhana, seperti kita menonton film Harry Potter. Di sana Harry bisa terbang. Kita semua tahu manusia tidak bisa terbang. Tapi penonton tidak terus merasa tertipu kan?”
Berhasil mencatatkan diri dalam jajaran pesulap profesional Indonesia yang masih sangat terbatas, Aditya Prambudi—begitu nama aslinya—berkeinginan meluruskan persepsi keliru masyarakat seputar seni pertunjukan sulap. Ia kepingin, derajat seni sulap terangkat di industri hiburan negeri ini. Paling tidak seperti musik atau malah lawak.
Nama Demian sendiri mulai dilirik orang setelah tampil pada acara sulap televisi Demian Sang Ilusionis di ANTV. Penampilannya yang khas: pakaian serba hitam dan potongan rambut mohawk ala anak muda zaman sekarang, membuatnya semakin gampang dikenali orang. “Sebenarnya saya kepingin dikenal sebagai orang biasa saja yang humble, ramah,” pesulap beraliran ilusi ini berterus terang.
Jenjang yang sekarang ditapakinya, memang bukan hasil simsalabim abrakadabra dalam semalam. Mengaku mulai menyukai sulap sejak SD, tapi Demian baru serius mempelajarinya saat berkuliah, hingga kemudian berguru kepada pesulap mentalis Deddy Corbuzier. Empat tahun lalu, ia mulai profesional, setelah sempat bergabung dalam sekelompok pesulap muda Pentagram di bawah manajemen gurunya itu. Saat ini jadwal manggungnya delapan kali sebulan.
Untuk ukuran Indonesia, karir Demian boleh dikata cukup baik. Seperti kata Deddy Corbuzier, citra sulap sempat ambruk. Levelnya cuma setingkat pertunjukan selingan pada acara ulang tahun anak-anak. “Sampai ada istilah tukang sulap. Tukang! Seperti tukang bakso saja, he-he-he,” Deddy berkata geli. Saat ini, dunia pertunjukan sulap kita pun tertinggal 50 tahun dibanding di Amerika.
Jika Anda ingat, pada dekade 1980-an sempat dikenal pesulap-pesulap klasik seperti Mister Robin, Arbain, Pak Tepong, atau Jack dan Linda, yang sering tampil di TVRI. Masyarakat baru menyadari keberadaan jenis sulap lain setelah sulap ilusi David Copperfield ditayangkan di stasiun televisi RCTI. Pengaruh ilusionis bermata tajam itu ternyata besar. Sampai sekarang, banyak ilusionis muda di seantero dunia menjadikan Copperfield idola. Termasuk Demian.
Trik Berusia Seabad
Perjalanan seni sulap adalah sebuah kisah panjang, terhitung sejak sejarah mencatatnya di lembar-lembar papirus bertahun 1700 SM, di Mesir. Hingga kemudian Jean-Eugene Robert (1805-1871), pesulap Prancis, menjadi pelopor seni sulap modern. Robert mendirikan Theatre of Magic, gedung pertunjukan yang mempertontonkan trik-trik sulap kreasinya. Sulap-sulap klasik seperti menghilangkan koin, memunculkan kelinci dari topi, atau memotong orang di dalam kotak, muncul pada kurun waktu ini.
Perkembangan sulap menjadi pertunjukan ilusi, dipelopori Buatier De Kolta (1847-1903) dan Servais Le Roy (1865-1953). Kolta menciptakan De Kolta Chair, kursi yang diduduki seorang wanita lalu ditutupi kain. Ketika kain dibuka, wanita itu sudah menghilang. Penonton bertepuk tangan.
Le Roy juga membuat ilusi serupa. Tapi hebatnya, kursi ciptaan Le Roy bisa melayang. Dan ketika kain ditarik, asisten yang duduk di kursi itu seolah menghilang di udara. Bayangkan, trik-trik ilusi yang umurnya lebih dari seabad itu masih dipakai sampai sekarang!
Kolta atau Le Roy, mungkin tidak pernah mengira jika kelak sulap ilusi memberi napas tersendiri pada aksi-aksi sulap yang dipertontonkan di panggung hiburan, dan belakangan di televisi. Daya pikat ilusi seolah abadi, karena penonton terbawa pada imajinasinya. Sesuatu yang sesungguhnya cuma tipuan mata, kelihatan seperti nyata.
Ilusi begitu mencengangkan, sampai terkadang muncul sedikit masalah. Untuk fakta ini silakan Anda tertawa: ada kelompok orang tertentu yang sempat berniat ‘menggagalkan’ pertunjukan sulap David Copperfield di Jakarta tahun lalu. Copperfield dianggap memakai ilmu gaib dalam aksi-aksi sulapnya, sehingga harus dihentikan!
“Saya sendiri tidak pernah menyatakan kalau sulap saya benar terjadi seperti kelihatannya. Semua itu ada rahasianya dan bisa dijelaskan,” begitu cara Demian menepis anggapan adanya kekuatan gaib dalam ilusi yang dimainkannya. Masalah pakaiannya yang serba hitam, namanya yang terinspirasikan bocah iblis Damien Omen dalam film The Omen, serta lambang mirip angka 666 yang dipakainya, juga tidak berhubungan dengan alam gaib. “Ini cuma karakter.”
Namun rasanya wajar jika orang yang tidak cermat akan salah persepsi. Sulap ilusi bermain pada empat hal yang selalu sukses membuat penonton penasaran, yaitu ‘menghilangkan’, ‘memunculkan’, atau ‘menembus’ sebuah benda, serta aksi ‘terbang’. Variasi permainan bisa memakai benda-benda berbagai ukuran, seperti koin, kartu, sepeda motor, mobil, atau bahkan tugu Monas sekalipun.
Sebesar atau sehebat apa pun sebuah sulap ilusi, sekali lagi, semuanya semata-mata mengandalkan metode atau peralatan tertentu yang sudah disiapkan pesulap. Dari balik panggung, sejumlah perangkat dioperasikan pesulap beserta timnya. Malah tidak tertutup kemungkinan, ada orang-orang yang disusupkan di antara penonton untuk membantu pesulap. Semua cara sah-sah saja, demi untuk hiburan.
Jika semua hal teknis sudah oke, kini perhatian penonton tertuju kepada pesulap di panggung. Sebagai front man, pesulap harus mempunyai keterampilan gerak tubuh yang dipadu dengan kelihaiannya membawa suasana lewat kata-kata. Demian misalnya sempat berlatih khusus kepada Septian Dwi Cahyo, pelatih olah tubuh yang juga aktor.
Agar lebih sakti, pesulap juga bisa memperkaya ilmunya dengan okultisme, suatu ilmu untuk memahami yang tersembunyi dalam diri dan lingkungan di sekitarnya. Aplikasinya bisa berbentuk hipnosis untuk mempengaruhi orang, telepati untuk berhubungan dengan orang lain melalui pikiran, atau daya magnetis untuk menarik perhatian orang.
Idenya dari Film Kartun
Makin bervariasi dan majunya aksi pertunjukan sulap akhir-akhir ini, sebenarnya menandakan lahirnya metode-metode baru sulap serta peralatan penunjang yang terus berkembang. Kalau tidak mau ketinggalan, para pesulap pun harus selalu mengikutinya. Artinya, mereka harus selalu berinvestasi pada peralatan atau permainan baru.
Setiap hari ada dua alat permainan sulap baru tercipta. Seminggu sekali, satu alat sulap ilusi baru ditawarkan. Para pesulap dari seluruh dunia mendapat informasi semacam ini, melalui wadah para pesulap dunia seperti International Brotherhood of Magician. Mereka saling berkomunikasi dan berdiskusi lewat internet.
Di balik gemerlap panggung sulap, pembuatan alat-alat pembawa keajaiban ini menjadi bisnis besar. Demian buka kartu, sebuah alat ilusi skala besar, seperti menghilangkan atau memunculkan benda-benda ukuran besar, harganya mulai Rp 50 jutaan. Semakin canggih alatnya, harganya terus merangkak naik. Dan ingat, semuanya masih harus diimpor.
Mahal? Ada alternatifnya, yakni cukup membeli cetak biru peralatannya saja. Pesulap bisa membuatnya sendiri memakai bahan-bahan lokal. “Habisnya bisa cuma sepuluh jutaan,” ungkap Demian yang memiliki 20 alat ilusi besar di samping ratusan permainan kecil. Investasinya sudah tidak terhitung. “Pastinya ratusan juta.”
Dengan membuat peralatan sendiri, selain murah, pesulap juga dapat memodifikasi permainan sesuai keinginannya. Hal ini sangat mungkin karena prinsip kerja sebuah peralatan sulap sebenarnya cukup sederhana, gampang dipelajari, dan mudah juga dicontek tentunya. Misalnya ada alat ilusi yang sebenarnya cuma… Uups! maaf, karena menyangkut hajat hidup para pesulap, kalimatnya terpaksa tidak diteruskan. Biarlah tetap menjadi rahasia di kalangan mereka saja.
Pesulap yang kreatif kadang menciptakan sendiri permainannya. Modalnya, menurut Demian, cuma imajinasi untuk menyuguhkan tontonan baru dan menjadikannya tantangan untuk mewujudkannya. Ia sendiri sudah memodifikasi beberapa alat ilusi. Salah satunya “Pintu ke mana saja”, alat berbentuk daun pintu, kalau dibuka bisa muncul orang sampai dua kali. Idenya dari film kartun Doraemon.
Sambutan penonton juga tidak selalu bisa diduga. Demian yang sering menyuguhkan sulap memakai peralatan elektronik, awalnya malah sempat tidak suka pada salah satu sulap kreasinya yang menggunakan televisi plasma. Aksinya cukup sederhana, ia memegang bola kecil yang dilempar ‘masuk’ ke layar televisi, bola berputar-putar di layar, dikeluarkan lagi kembali ke tangan.
“Di sulap itu saya merasa, kok cuma banyak menari-nari saja terus memainkan bola di tangan. Tapi ternyata banyak penonton suka,” jelas ilusionis ‘high-tech magic’, sebuah julukan yang disandangnya lantaran sering memakai gadget seperti ponsel, PDA, atau komputer dalam aksinya.
Ketergantungannya pada peralatan dan tim, membuat Demian merasa tidak pantas jika terlalu menonjolkan diri. Ia sadar, sulap ilusi tidak bakal sukses tanpa bantuan timnya yang berjumlah 6 orang. Mereka adalah manajer, stage director, music director, penanggung jawab ilusi, dan dua orang urusan teknik. Tim ini tahu semua rahasia sulap Demian, tapi sudah terikat perjanjian untuk tidak membocorkannya.
Bersama timnya, Demian merancang sebuah aksi sulap dengan skenario tertentu. Setiap gerakan diperhitungkan cermat—bahkan dalam hitungan detik—dibantu penataan panggung, alunan musik, koreografi, atau cahaya lampu. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun karena akibatnya sulap bisa gagal. Atau yang lebih gawat, rahasia permainan terbongkar di mata penonton. Reputasi pesulap bisa hancur, minimal harus menanggung malu.
Karena resiko itu, sebelum naik panggung, persiapan harus benar-benar matang. Terutama mengecek kekuatan panggung, karena peralatan ilusi dan tetek bengeknya, beratnya bisa puluhan atau malah ratusan kilogram. Jangan sampai di tengah pertunjukan, misalnya panggung roboh.
Kalau suasana di sekitar panggung sepi, tim Demian akan selalu menyempatkan diri berlatih. “Paling tidak saya latihan dua jam, biar tenang,” ujar Demian yang mengaku bersyukur sejauh ini semua pertunjukannya berjalan baik. Kalau kebetulan panggung ada di tempat ramai, seperti mal, apa boleh buat, latihan pukul 4 pagi juga harus dilakoninya.
Format sebuah pertunjukan sulap ilusi umumnya sama. Selain beberapa permainan ilusi besar, sesuai negosiasi antara pesulap dengan pihak pengundang, umumnya dimainkan juga sulap-sulap versi lain sebagai variasi, seperti sulap jarak dekat atau permainan kecil (close-up magic) untuk berinteraksi dengan penonton.
Sulap permainan jarak dekat dilakukan di depan beberapa orang yang berkumpul, memainkan benda-benda seperti saputangan, koin, atau kartu. Permainan yang berakar pada sulap klasik ini punya banyak variasi dan teknik memainkannya. Tahukah Anda, ada lebih dari 50 teknik menghilangkan koin di telapak tangan? Hebatnya, walau sering dimainkan di mana saja, penonton tetap terkagum-kagum.
Sebagai selingan, disuguhkan juga permainan yang berinteraksi dengan penonton, agar mereka merasa terlibat dalam pertunjukan. Sebenarnya permainan semacam ini sangat lazim. Bahan-bahannya mudah didapatkan di buku-buku sulap atau malah internet sekalipun, karena hanya berupa permainan ilmu pasti atau matematika.
Dengan aneka variasi permainan, Demian berharap penonton tidak melulu terpaku pada trik-trik sulap dan rahasia di baliknya. “Saya ingin mengajak penonton untuk menyaksikan hal-hal yang tidak kita lihat sehari-hari. Lupakan semua persoalan. Di sini kita akan terhibur,” ajaknya.
Menembus Tanpa Membuka Kunci
Berbeda dengan sulap lainnya, dalam aliran mentalis, pesulap umumnya justru akan selalu bermain dengan penonton. Interaksi itulah yang menjadi sulapan sekaligus tontonannya. “Buat saya, di sini letak menariknya. Sulap mentalis memang tidak bagus secara visual, tapi bagus sebagai interaksi,” jelas Deddy Corbuzier, soal ketertarikannya pada aliran yang jarang ditekuni para pesulap ini. Di seluruh dunia, menurut Deddy, saat ini cuma ada puluhan mentalis.
Seperti pesulap lain, pria 31 tahun bernama asli Deddy Cahyadi Sundjojo ini awalnya juga bermain sulap klasik dan ilusi. Karena sejak kecil bercita-cita menjadi pesulap, ia malah sempat belajar pada sejumlah pesulap yang populer di TVRI era dekade 1980-an. Kecintaannya pada mentalis baru muncul ketika Deddy melihat pertunjukan kelompok pesulap mentalis Legendary Thirteen di Israel. Semasa SMA, ia ikut ayahnya yang bekerja di sana.
Bagi Deddy, mentalis adalah the most believable art of magic. Seni sulap yang riil, karena 90 persennya psikologi dan bukan cuma mengandalkan trik. Beda dengan ilusi, yang menurutnya, kalau dimainkan terus, lama kelamaan bisa membuat orang menyadari triknya (walau tetap merasa terhibur). “Sulap mentalis lebih bisa dipercaya karena kemampuan ini ada di dalam setiap orang dan bisa dipelajari. Terlepas orang mau melakukannya atau tidak.”
Sulap mentalis juga mempunyai lebih banyak variasi permainan dibanding sulap lain. Penggolongan besarnya adalah membaca pikiran, prediksi, telepati, fisika kuantum, psikokinetik, dan clairfoyance (mengarah ke hipnosis). Setiap golongan punya puluhan bahkan ratusan variasi permainan. Karena begitu banyak, akibatnya orang sering salah membedakan dengan ilusi.
Ambil contoh sebuah aksi sulap seseorang terkunci di dalam kotak lalu ditutupi kain, dan harus membebaskan diri. Dalam penjelasan Deddy, seorang escapologist (ahli membebaskan diri, seperti Houdini) butuh sebuah lubang agar tangan bisa keluar untuk membuka kunci. Ilusionis akan menghilangkan diri untuk kemudian muncul di luar kotak. Sedangkan mentalis akan menembus kotak tanpa perlu membuka kuncinya!
Oke deh, penjelasan itu boleh dipercaya, boleh juga tidak. Yang jelas, permainan semacam itu memang didasari pada teori fisika kuantum. Sebuah benda solid menembus suatu batas yang solid pula. Masalahnya, apakah benar terjadi seperti itu, Deddy mengembalikannya kepada keyakinan penonton.
Pada awal pemunculannya, nama Deddy sendiri dikenal banyak orang lewat permainan psikokinetik. Menggerakkan benda dari jauh, mematikan jam tangan, atau membengkokkan benda adalah aksi yang membuat orang berdecak kagum padanya. Apa rahasianya? “Ah, semua orang juga bisa. Mungkin mereka tidak dalam kondisi harus melakukannya,” tutur sarjana psikologi lulusan Universitas Atma Jaya Jakarta ini.
Azka, anak lelaki Deddy berumur setahun, sudah bisa membengkokkan sebuah kunci berdasar teori psikokinetik tadi. Prestasi itu masuk catatan Museum Rekor Indonesia tahun 2007. Lucunya, kepada media Deddy selalu menyatakan tidak mau kalau putra sulungnya itu kelak menjadi pesulap.
Karena hanya bermain-main kekuatan pikiran, seorang mentalis kebanyakan akan tampil tunggal di panggung. Artinya, Deddy juga tidak perlu kerepotan membawa peralatan apa pun saat mentas. Cukup berpenampilan oke, serta fisik yang sehat untuk naik pentas. Sesekali ia mengajak Kalina, istrinya, membantu permainan.
Deddy berterus terang menggali beraneka permainan dari buku-buku sulap mentalis yang semuanya impor. Di rumahnya ada ribuan judul buku yang kebanyakan tentang sulap atau psikologi. Ia juga sempat meluncurkan dua buku sulap mentalis yakni Free Will dan Nocturnal Book Test. Pasarnya luar negeri.
Tapi meski cuma tinggal membaca, menurut Deddy, bukan berarti sembarang pesulap bisa memainkan. Yang berat justru latihan-latihan pribadi yang terfokus pada peningkatan kemampuan di dalam diri sendiri. Dua jam sehari, ia melakukan meditasi dan yoga. Ada juga latihan intuisi, menebak sesuatu, memakai benda-benda tertentu seperti kartu.
Rohaniawan Belajar Sulap
Pemunculan pesulap-pesulap muda, seperti Deddy atau Demian, yang permainan dan penampilannya terlihat lebih segar di mata penonton, ternyata berhasil menggairahkan kembali dunia sulap Indonesia. Deddy mengakui, apresiasi orang Indonesia kepada sulap kini sudah jauh membaik. Sedang Demian berkisah, saat pertunjukan di Pontianak, seorang pedagang alat sulap bercerita penjualan toko alat sulapnya meningkat setelah Demian muncul di televisi.
Minat untuk mempelajari sulap juga kian meluas. Deddy menegaskan, belajar sulap bukan berarti harus menjadi seorang entertainer sulap. Di sekolah sulap yang dikelolanya, ada pejabat, jenderal, rohaniawan, sampai sales asuransi yang menjadi muridnya. “Sulap efektif untuk ice breaking, memecah kebekuan dalam pergaulan. Apalagi kalau bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal.”
Sedangkan bagi pesulap sejati, menyelami dunia penuh rahasia ini rasanya tidak akan pernah mencapai batas akhir. Apalagi jika sulap telah menjadi napas dari hidup keseharian mereka. Bermain sulap bukan melulu harus tampil di panggung.
Karena itu di kalangan pesulap juga dikenal semacam tingkatan eksistensi. Ada twister, pemula yang biasanya selalu ingin menunjukkan kebisaannya, sorcerer yang bermain saat diperlukan saja, oracle yang banyak melakukan pencarian makna dari ilmu sulap, serta sage yang sudah sampai pada tahap pencapaian tertentu dan tidak mempertunjukkan kemampuannya lagi.
“Seorang sage biasanya sudah berumur, lebih bijaksana. Tapi, bisa tiba-tiba bermain sulap mengeluarkan bunga untuk seorang anak kecil,” tutur Deddy yang mengagumi ‘sage’ dari Indonesia, Gatot Sunyoto, seorang entertainer serta ventriloquist atau ahli bicara perut tanpa menggerakkan mulut, yang juga bagian dari seni sulap.
Jika sepintas Anda merasa istilah-istilah tadi berbau-bau dunia sihir, percayalah, semua itu semata-mata karena keterbatasan diksi dalam bahasa Inggris. Seperti adanya beragam arti pada kata ‘magic’. Bahasa Indonesia lebih beruntung berhasil memisahkan antara ‘sulap’ dan ‘sihir’. Sekali lagi, ini cuma sulap, bukan sihir.
[T. Tjahjo Widyasmoro & Elisabeth Kartikasari, Majalah Intisari]
2 Comments:
Hallo..Saya Denny Marco Salam kenal dan salam hangat buat temen-teman pecinta seni sulap di seluruh negeri Indonesia,khususnya pemilik blog.
Saya suka dengan tulisan anda karena sangat membantu memberikan wawasan dan pencerahan bagi semua pesulap baru atau merefresh yang udah lama menekuni bidang seni sulap.
tolong kasih tau aq dong cara menjatuhkan benda tanpa di sentuh.....
plisssss
Post a Comment